Kesehatan

Kasus Kusta di Indonesia Tertinggi Ketiga di Dunia, Prof Tjandra Yoga Soroti 3 Hal Penting

2
×

Kasus Kusta di Indonesia Tertinggi Ketiga di Dunia, Prof Tjandra Yoga Soroti 3 Hal Penting

Share this article
Kasus Kusta di Indonesia Tertinggi Ketiga di Dunia, Prof Tjandra Yoga Soroti 3 Hal Penting
Kasus Kusta di Indonesia Tertinggi Ketiga di Dunia, Prof Tjandra Yoga Soroti 3 Hal Penting

KenapaSih.com, Kesehatan – Penyakit kusta mungkin terdengar seperti masalah kesehatan masa lalu, namun faktanya masih menjadi tantangan nyata di Indonesia. Bahkan, Indonesia masih tercatat sebagai negara dengan jumlah kasus kusta tertinggi ketiga di dunia, setelah India dan Brasil.

Hal tersebut disampaikan Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI sekaligus mantan pejabat tinggi di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan RI, dalam pernyataan tertulis menjelang pelaksanaan The 22nd International Leprosy Congress (ILC) yang akan digelar di Bali pada Juli 2025 mendatang.

“Kusta kita nomor tiga di dunia,” tegas Prof. Tjandra, dikutip Jumat (27/6/2025).

Ia mengungkapkan, setiap tahun masih ditemukan sekitar 200 ribu kasus baru kusta secara global, dan Indonesia menyumbang ribuan kasus di antaranya. Fakta ini menjadi sorotan penting jelang pertemuan internasional yang akan membahas upaya global pemberantasan kusta.

Prof. Tjandra pun menekankan setidaknya tiga hal krusial yang perlu mendapat perhatian serius untuk mengatasi masalah kusta di Tanah Air. Rinciannya akan dibahas lebih lanjut dalam rangkaian kegiatan kongres internasional yang turut melibatkan berbagai pemangku kepentingan nasional dan internasional di bidang kesehatan.

Ribuan Kasus Baru Kusta, Anak-Anak Ikut Terpapar di 26 Provinsi

Situasi kusta di Indonesia kian memprihatinkan. Hingga 31 Mei 2025, Kementerian Kesehatan mencatat sebanyak 3.716 kasus baru kusta ditemukan di berbagai wilayah Tanah Air.

Yang lebih mengkhawatirkan, data menunjukkan bahwa dari 30 provinsi yang melaporkan kasus, sebanyak 26 di antaranya melibatkan anak-anak sebagai pasien baru.

“Proporsi kasus anak tahun 2025 bahkan meningkat dibandingkan tahun 2024,” ungkap Prof. Tjandra Yoga Aditama dalam keterangannya, Jumat (27/6/2025).

Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu, tingginya kasus kusta pada anak menjadi indikasi kuat masih banyaknya sumber penularan aktif, khususnya dari orang dewasa di sekitar mereka.

Meningkatnya kasus kusta di kalangan anak juga menjadi sinyal serius bahwa penularan di komunitas masih terus berlangsung. Di sisi lain, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa upaya pengendalian belum berjalan optimal dan stigma sosial terhadap penderita kusta masih menjadi pekerjaan rumah besar.


Tiga Masalah Utama Pengendalian Kusta di Indonesia

Meski Indonesia telah memiliki Strategi Nasional Eliminasi Kusta, sejumlah tantangan besar masih menghambat upaya pengendalian penyakit ini secara efektif. Prof. Tjandra Yoga Aditama, pakar kesehatan masyarakat dan mantan pejabat WHO, menyoroti tiga persoalan utama yang masih menjadi batu sandungan:

1. Rendahnya Penemuan Kasus Baru

Menurut Prof. Tjandra Yoga Aditama, salah satu persoalan krusial dalam pengendalian kusta di Indonesia adalah rendahnya tingkat penemuan kasus baru. Berdasarkan data tahun 2024, hanya 38,9% dari estimasi kasus yang berhasil ditemukan.

Artinya, lebih dari separuh penderita kusta di Tanah Air belum terdeteksi dan belum mendapatkan akses pengobatan. Kondisi ini berpotensi memperbesar rantai penularan di komunitas, karena penderita yang tidak terdiagnosis dapat terus menularkan penyakit tanpa disadari.

2. Cakupan Kemoprofilaksis yang Masih Rendah

Kemoprofilaksis, yakni pemberian antibiotik kepada orang-orang yang memiliki kontak erat dengan penderita kusta, merupakan strategi penting dalam mencegah penularan. Namun, implementasinya di Indonesia masih jauh dari optimal.

Hingga tahun 2024, cakupan kemoprofilaksis nasional tercatat hanya sebesar 13,9%, jauh di bawah target 80% yang ditetapkan.

Rendahnya cakupan ini menunjukkan masih adanya tantangan besar dalam aspek pelacakan kontak, edukasi masyarakat, serta distribusi dan ketersediaan obat di lapangan. Padahal, bila dijalankan secara luas dan konsisten, kemoprofilaksis dapat menjadi langkah strategis dalam memutus rantai penularan kusta.

3. Ketidaktepatan Waktu dalam Penyelesaian Pengobatan

Prof. Tjandra Yoga Aditama menyoroti bahwa meskipun kusta dapat disembuhkan melalui terapi Multidrug Therapy (MDT), masih banyak pasien yang tidak menyelesaikan pengobatannya sesuai jadwal. Data menunjukkan hanya 84% pasien yang menyelesaikan pengobatan tepat waktu.

Kondisi ini tentu mengkhawatirkan karena pengobatan yang tidak tuntas bisa menyebabkan kegagalan terapi, komplikasi, dan bahkan risiko kecacatan permanen. Selain itu, penderita yang belum sembuh sepenuhnya masih bisa menjadi sumber penularan di masyarakat.

Menurut Prof. Tjandra, penyebab utama ketidaktepatan ini meliputi kurangnya edukasi pasien, stigma sosial yang tinggi, serta akses layanan kesehatan yang belum merata — terutama di daerah-daerah endemis. Oleh karena itu, perlu penguatan sistem pemantauan pengobatan serta dukungan sosial dan psikologis yang memadai bagi penderita kusta.


Langkah Menuju Bebas Kusta

Meski kerap dianggap sebagai penyakit masa lalu, kusta masih menjadi masalah kesehatan nyata di Indonesia. Data terbaru menunjukkan, Indonesia kini menempati peringkat ketiga dunia dalam jumlah kasus kusta, setelah India dan Brasil.

Hal ini ditegaskan Prof. Tjandra Yoga Aditama, Direktur Pascasarjana Universitas YARSI sekaligus mantan pejabat WHO dan Kemenkes RI. Ia menyebut, setiap tahun ada lebih dari 200 ribu kasus baru kusta secara global, dan Indonesia menyumbang ribuan kasus di antaranya.

Tak hanya soal angka, Prof. Tjandra juga menyoroti tiga tantangan utama dalam penanggulangan kusta di Indonesia:

  1. Masih Rendahnya Cakupan Kemoprofilaksis

  2. Tingginya Angka Ketidaktepatan Pengobatan

  3. Masih Terjadinya Keterlambatan Diagnosis

Kongres Internasional di Bali, Momentum Penting untuk Indonesia

Isu-isu tersebut akan menjadi bahasan utama dalam The 22nd International Leprosy Congress (ILC) yang digelar di Bali, 7–9 Juli 2025. Kongres ini mengusung tema “Towards a World with Zero Leprosy” dan difokuskan pada:

  • Pemutakhiran data prevalensi dan strategi eliminasi kusta global

  • Penguatan diagnosis dan pengobatan MDT

  • Penanganan stigma serta upaya rehabilitasi sosial

Prof. Tjandra menekankan bahwa pertemuan di Bali bukan hanya untuk kepentingan global, tetapi juga harus menjadi momen penting bagi Indonesia untuk memperkuat langkah menuju negara bebas kusta.

“Tentu harapan kita ini bukan hanya internasional,” ucap Prof. Tjandra. “Akan baik kalau kegiatan di Bali ini juga menjadi pijakan kuat Towards Indonesia with Zero Leprosy.”


Lebih dari Sekadar Penyakit Kulit

Kusta bukan sekadar masalah kulit atau gangguan saraf. Lebih dari itu, penyakit ini meninggalkan dampak sosial dan psikologis yang mendalam. Tak sedikit penderita kusta yang menghadapi diskriminasi, dijauhi lingkungan sekitar, bahkan kehilangan hak dasar seperti pendidikan dan pekerjaan.

Stigma yang melekat membuat banyak pasien enggan berobat atau menyembunyikan kondisinya. Padahal, kusta bisa disembuhkan jika ditangani sejak dini melalui terapi multidrug (MDT) yang tersedia secara gratis.

Karena itu, pengendalian kusta tak cukup hanya mengandalkan pengobatan. Diperlukan pendekatan holistik — mulai dari deteksi dini, edukasi publik, hingga pemberdayaan ekonomi dan sosial bagi para penyintas agar mereka bisa kembali menjalani kehidupan yang layak dan bermartabat.

Upaya ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat, tenaga kesehatan, dunia pendidikan, dan media. Dengan kolaborasi lintas sektor, Indonesia bisa mewujudkan cita-cita sebagai negara bebas kusta tanpa stigma.

Masyarakat Pegang Peran Kunci dalam Eliminasi Kusta

Keterlibatan masyarakat memegang peran krusial dalam upaya eliminasi kusta di Indonesia. Deteksi dini menjadi langkah penting, terutama mengenali gejala awal seperti bercak di kulit yang mati rasa atau kelemahan otot secara tiba-tiba. Penanganan yang cepat dan tepat mampu mencegah kecacatan permanen, sekaligus mempercepat pemulihan.

Namun, tantangan terbesar justru bukan pada medisnya, melainkan stigma yang masih kuat melekat. Kusta kerap dipandang sebagai kutukan atau aib, padahal faktanya, penyakit ini bisa disembuhkan dengan pengobatan yang tersedia secara gratis di fasilitas kesehatan.

Menghapus stigma adalah kunci. Kusta bukan penyakit menular yang mudah menyebar, bukan pula hukuman sosial. Dengan pemahaman yang benar, masyarakat bisa menjadi garda terdepan—bukan hanya dalam mengenali gejala, tetapi juga dalam mendampingi dan memulihkan semangat hidup para penyintas.

Semakin banyak masyarakat yang sadar dan peduli, semakin besar pula harapan Indonesia untuk bebas kusta secara menyeluruh—bukan hanya dari sisi angka kasus, tetapi juga dari belenggu stigma dan diskriminasi.