KenapaSih.com, Kesehatan – Gejala gonore pada perempuan sering kali tidak spesifik sehingga kerap luput dari perhatian. Padahal, infeksi menular seksual ini berisiko menimbulkan komplikasi serius, termasuk infertilitas atau gangguan kesuburan.
“Pada perempuan, harus waspada karena gonore sering kali hanya menimbulkan gejala ringan seperti keputihan biasa, bahkan sering tanpa gejala sama sekali,” ujar dr. Hanny Nilasari, SpDV(K), Subspesialis Dermatologi Venereologi dan Estetika, dalam sesi temu media daring bersama Kementerian Kesehatan, Jumat (20/6/2025).
Menurutnya, banyak kasus gonore pada perempuan baru terdeteksi saat sudah mengalami komplikasi. “Sebagian besar baru diketahui saat sudah berkembang menjadi penyakit radang panggul, bahkan bisa menyebabkan infertilitas akibat kerusakan saluran reproduksi,” jelasnya.
Infeksi gonore atau kencing nanah disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae. Pada pria, gejala umumnya berupa keluarnya cairan seperti nanah dari ujung kemaluan, disertai rasa panas dan nyeri saat buang air kecil.
Gonore merupakan salah satu jenis infeksi menular seksual (IMS) yang ditularkan melalui kontak seksual, baik melalui hubungan vaginal, oral, maupun anal. Selain melalui aktivitas seksual, IMS juga dapat ditularkan secara non-seksual, misalnya dari ibu ke anak saat proses persalinan.
IMS Tak Hanya Dialami Orang Dewasa, Kasus pada Remaja 15–19 Tahun Meningkat
Infeksi Menular Seksual (IMS) bukan hanya persoalan orang dewasa. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkapkan bahwa IMS dapat dialami oleh semua kelompok usia, termasuk remaja.
Bahkan, dalam tiga tahun terakhir, terjadi peningkatan signifikan kasus IMS pada kelompok usia 15–19 tahun.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kemenkes, dr. Ina Agustina Isturini, menjelaskan bahwa lonjakan kasus tersebut sejalan dengan meningkatnya jumlah tes yang dilakukan.
“Pada tahun 2022, jumlah orang yang menjalani tes IMS sebanyak 85.574. Kemudian meningkat hampir dua kali lipat menjadi 158.378 pada 2023. Sementara pada 2024, angka tersebut kembali melonjak menjadi 291.672,” ungkap dr. Ina dalam temu media daring, Jumat (20/6/2025).
Ia menilai tren peningkatan tersebut sebagai indikasi mulai meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya deteksi dini IMS.
“Ini bisa jadi fenomena gunung es yang mulai mencair. Masyarakat mulai sadar pentingnya tes IMS, dan ketika tes meningkat, maka jumlah temuan kasus pun ikut meningkat,” lanjutnya.
Sifilis Dominasi Kasus IMS, Terbanyak Ditemukan di Kota Besar
Dari beragam jenis Infeksi Menular Seksual (IMS), sifilis tercatat sebagai kasus terbanyak yang ditemukan di Indonesia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan, dr. Ina Agustina Isturini, menyebut bahwa dari total 4.589 kasus IMS yang terdata, hampir setengahnya merupakan sifilis.
“Sebanyak 48 persen dari jumlah tersebut, atau sekitar 2.191 kasus, merupakan sifilis,” jelas dr. Ina dalam keterangannya, Jumat (20/6/2025).
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa kasus IMS, khususnya pada kelompok usia remaja, paling banyak ditemukan di wilayah perkotaan.
“Secara umum, kasus IMS memang lebih banyak dijumpai di kota-kota besar. Untuk kelompok usia remaja, tren tertinggi tercatat di tiga provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali,” ujarnya.
Penanganan IMS pada Remaja Perlu Libatkan Orangtua Secara Aktif
Penanganan infeksi menular seksual (IMS) pada remaja memerlukan pendekatan yang tidak hanya menyasar pasien, tetapi juga melibatkan peran aktif orangtua.
Hal tersebut disampaikan oleh dr. Hanny Nilasari, Subspesialis Dermatologi Venereologi dan Estetika, dalam temu media daring bersama Kementerian Kesehatan, Jumat (20/6/2025). Ia mengungkapkan bahwa kelompok usia 15–19 tahun cukup sering datang untuk berobat ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut.
“Pasien usia remaja umumnya datang bersama orangtua ke fasilitas layanan. Oleh karena itu, komunikasi dengan orangtua menjadi kunci penting dalam proses tata laksana IMS,” ungkap Hanny.
Menurutnya, karena sebagian besar remaja masih tinggal bersama orangtua, tenaga medis harus berhati-hati saat memberikan edukasi maupun menjelaskan kondisi pasien agar tidak terjadi miskomunikasi.
“Dengan komunikasi yang baik, pengobatan bisa dilakukan secara menyeluruh dan lancar. Jika orangtua bisa menerima kondisi anak dengan terbuka, maka proses perawatan juga akan lebih efektif,” jelas Hanny.