Nasional

Bubur Suran & Jejak Nabi Nuh: Tradisi 1 Suro yang Masih Lestari di Pekalongan

4
×

Bubur Suran & Jejak Nabi Nuh: Tradisi 1 Suro yang Masih Lestari di Pekalongan

Share this article
Bubur Suran & Jejak Nabi Nuh: Tradisi 1 Suro yang Masih Lestari di Pekalongan
Bubur Suran & Jejak Nabi Nuh: Tradisi 1 Suro yang Masih Lestari di Pekalongan

KenapaSih.com, Nasional – Asap mengepul dari dapur sebuah rumah di Gang 4, Kelurahan Jenggot, Kecamatan Pekalongan Selatan, Kota Pekalongan, Jawa Tengah. Di dalamnya, Lalita Suryani tampak sibuk mengaduk satu panci besar berisi bubur beraroma santan dan kunyit yang khas. Tradisi ini dikenal sebagai Bubur Suran, sajian yang setiap tahun rutin disiapkan keluarganya sebagai ungkapan syukur dan doa khusus karena Lalita lahir di bulan Suro.

“Ini untuk saya dan adik saya. Dulu setiap tahun dibuatkan oleh ibu. Sudah turun-temurun. Kami percaya ini bukan sekadar makanan, tapi doa keselamatan,” ujar Lalita.

Bubur Suran dimaknai sebagai simbol kesucian dan ketulusan. Warna kuning yang berasal dari santan dan air kunyit mencerminkan harapan akan keselamatan, kemuliaan, serta keberkahan hidup.

Sajian ini dilengkapi urap sayur, sambal goreng tempe, telur rebus, tahu bacem, dan kerupuk. Dalam tradisi keluarga lain, lauk pelengkap bisa bervariasi, namun makna utama tetap sama: menyatukan doa dan mempererat kebersamaan.

Lalita menuturkan, bubur tersebut tidak hanya dikonsumsi keluarga inti, tapi juga dibagikan kepada tetangga dan kerabat. “Itu yang paling penting, supaya bisa saling mendoakan dan mempererat silaturahmi di awal tahun,” ucapnya.

Di sudut rumah, sang ibu, Triniatun, tampak menyiapkan urap dan kerupuk sebagai pelengkap. Ia dikenal sebagai penjaga tradisi dalam keluarga tersebut dan memahami betul sejarah panjang di balik semangkuk bubur Suran.

“Ini tradisi lama. Katanya berasal dari kisah Nabi Nuh,” ungkap Triniatun.

Ia mengisahkan bahwa setelah selamat dari banjir besar, Nabi Nuh AS meminta para pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan di kapal dan memasaknya menjadi bubur. Tindakan tersebut merupakan wujud syukur atas keselamatan dari musibah.

Kisah itu kemudian menyebar hingga ke tanah Jawa dan bertransformasi menjadi tradisi lokal. Bubur Suran pun menjadi bagian dari peringatan Tahun Baru Jawa 1 Suro, yang juga bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Hijriah.

Lebih lanjut, Triniatun menjelaskan bahwa ketika Sultan Agung menyatukan kalender Jawa dan Hijriah, bubur ini bahkan menjadi bagian dari upacara adat resmi di lingkungan Kerajaan Mataram. “Dulu, di kampung ini semua orang bikin bubur Suro sebagai bagian dari adat,” tuturnya.

Tak hanya untuk keluarga yang lahir di bulan Suro, tradisi ini juga dilakukan sebagai bentuk sedekah dan penolak bala.

Bagi Triniatun dan keluarganya, merawat tradisi ini merupakan upaya menjaga jati diri sekaligus spiritualitas. Ia berharap generasi muda di Pekalongan dan wilayah Jawa lainnya tidak memandang Bubur Suran semata sebagai makanan tradisional, melainkan sebagai warisan budaya yang penuh makna.

“Anak-anak muda harus tahu, tradisi seperti ini bukan hanya soal budaya, tapi juga tentang rasa syukur dan doa yang sederhana namun mendalam,” pungkasnya.


Asal-Usul Tradisi Bubur Suran, Jejak Syukur dari Kisah Nabi Nuh

Triniatun menuturkan asal mula tradisi Bubur Suran yang dipercaya berakar dari kisah Nabi Nuh AS. Ia menyebut bahwa setelah selamat dari banjir besar, Nabi Nuh memerintahkan para pengikutnya untuk mengumpulkan sisa-sisa perbekalan di atas kapal, lalu memasaknya menjadi bubur sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan yang diberikan oleh Allah SWT.

“Itu bentuk syukur karena telah diselamatkan dari banjir besar pada waktu itu,” jelas Triniatun.

Kisah tersebut kemudian berkembang dan menyebar hingga ke tanah Jawa, serta beradaptasi dengan budaya masyarakat setempat. Bubur Suran pun menjadi bagian dari ritual menyambut Tahun Baru Jawa, yang bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender Islam.

Lebih jauh, Triniatun menjelaskan bahwa saat Sultan Agung memadukan sistem penanggalan Jawa dan Hijriyah, Bubur Suran bahkan dijadikan bagian dari upacara adat resmi di lingkungan Kerajaan Mataram. “Dulu di kampung ini, semua orang membuat bubur Suro sebagai bagian dari tradisi,” ujarnya.

Tradisi ini tidak hanya dilakukan oleh keluarga yang memiliki anggota lahir di bulan Suro, tetapi juga menjadi sarana sedekah dan penolak bala.

Bagi Triniatun dan keluarganya, menjaga tradisi ini bukan sekadar rutinitas, melainkan bentuk pelestarian identitas dan spiritualitas. Ia berharap generasi muda di Pekalongan dan daerah lain di Jawa dapat melihat Bubur Suran bukan hanya sebagai makanan tradisional, tetapi juga sebagai warisan budaya yang sarat makna.

“Anak-anak muda sekarang harus paham, tradisi seperti ini bukan sekadar soal budaya, tapi juga menyangkut rasa syukur dan doa yang sederhana namun mendalam,” pungkasnya.